.

"SELAYANG PANDANG "




hanu

Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Bismillahirrahmanirrahim

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan nikmat kepada kita sekalian, sehingga sampai detik ini kita masih dapat beraktifitas sampailah terciptanya media online pembelajaran ini yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
yaitu para murid dan guru pengajar - diantaranya sarana pembelajaran elektronik melalui internet (e-learning), forum diskusi dan komunikasi, jajak pendapat, chat room, profil guru dan siswa, mengambil dokumen/file (download) dan sarana-sarana penunjang edukasi dan komunikasi lainnya.
Akhir kata, dan atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya, dan semoga bermanfaat buat kita semua

Wassalam

Selasa, 24 Juli 2012

MENYIMAK, BERBICARA, MEMBACA, DAN MENULIS BESERTA HUBUNGANNYA


Adanya pernyataan bahwa kegiatan membaca bukan hanya sekedar melafalkan tulisan dirasakan benar adanya. Ketika kita membaca jalinan kemampuan visual, berpikir, psikolinguistik, dan metakognitif, semuanya ikut terlibat pada saat kegiatan membaca berlangsung , bahkan jauh-jauh terjadi sebelum kegiata membaca tersebut dilakukan, khususnya hal tersebut terjadi ketika berkenaan dengan informasi apa yang hendak dicari, digali, atau dipelajari dan hal tersebut termasuk pada tujuan membaca. Ada beberapa tujuan ketika pembaca hendak membaca bahan bacaannya, misalnya membaca untuk tujuan studi (telaah ilmiah), membaca untuk tujuan menagkap garis besar bacaan, membaca untuk menikmati karya sastra, membaca untuk mengisi waktu luang, membaca untuk mencari keterangan suatu istilah dan lain sebagainya. Oleh karena itu menentukan suatu tujuan ketika kita hendak membaca merupakan hal yang mutlak direncanakan sebelum membaca supaya proses membaca akan lebih terarah. Penentuan tujuan membaca sesuai dengan keperluannya merupakan proses awal dari berpikir pembaca .
Membaca merupakan suatu kegiatan yang melibatkan organ mata untuk tujuan visualisasi pengenalan kata dalam satu kalimat, paragraph atau wacana. Hal ini dikarenakan penyampaian pesan informasi dikemas dalam bentuk lambang-lambang bunyi yang dinamakan dengan huruf dengan bahasa tertulis dan bukan melalui bahasa tuturan. Bahasa tulis dikatan lebih berstruktur, tetap, dan terorganisasi dengan baik, sehingga pesan yang berupa informasipun dapat mudah dipahami karena lebih sistematis, logis, dan kretif. Dapat dikatakan demikian karena pada suatu paragraph biasanya terdapat ide pokok atau gagasan utama dan gagasan pendukung untuk memperjelas ide pokok tersebut. Selain itu pemilihan kata untuk menyampaikan informasi atau pesanpun sering kali dipertimbangkan sebelumnya. Berbeda dengan bahasa tulis bahasa lisan atau bahasa tutur merupakan kebalikan dari bahasa tulis, yang bercirikan bahasanya kurang berstruktur, dan cenderung berubah-ubah, hal ini dikarenakan pada bahasa tutur aspek spontanitas adalah hal yang paling diutamakan.
Selain membaca sebagai proses visualisasi, dan melafalkan tulisan, membaca juga merupakan sebuah proses psikolinguistik. Psikolinguistik mencoba menguraikan proses-proses psikologi yang berlangsung jika seseorang mengucapkan kalimat yang didengarnya pada waktu berkomunikasi, dan bagaimana kemampuan berbahasa itu diperoleh oleh manusia (Slobin, 1974; Meller, 1964; Slama Cazahu, 1973). Dengan kata lain, proses psikolinguistik yang terjadi pada pembaca akan meliputi pada pemahaman hakikat struktur bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, oleh karena itu kemampuan linguistik pembaca akan menentukan pada pemahaman pembaca terhadap bahasa tulis dalam bahan bacaan. Dapat dikatakan demikian karena pada saat membaca pembaca akan memulai mengidentifikasi fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik yang ada terdapat dalam kalimat, paragraph, dan wacana.
Sebenarnya psikolinguistik itu sendiri terdiri atas dua morfem, yakni psikologi dan linguistik. Keduanya masing-masing memiliki konteks makna yang berbeda satu sama lain, namun keduanya sama-sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materialnya saja yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa. Dengan demikian cara dan tujuannyapun juga berbeda. Akan tetapi setelah kedua bidang keilmuan tersebut tergabung menjadi satu, sehiungga menciptakan suatu bidang keilmuan yang akrab disebut dengan psikolinguistik. Psikolinguistik tersebut mempelajari bagaimana perilaku berbahasa alam konteks kebahasaan.
Haris (1970) menyebutkan bahwa kesiapan membaca adalah intelegensi umum. Dalam kegiatan membaca seorang individu mengalami proses psikologis, seperti intelegensi umum, usia mental, bahasa, kepribadian, sikap, kemampuan persepsi, dan tingkat kemampuan membaca. Tingkatan kemampuan membaca dibagi kedalam tiga ketas, yakni membaca literal, membaca kritis, dan membaca kreatif.
Kemampuan membaca literal merupakan kemampuan pembaca untuk memahami kata kata dalam kalimat, paragraph maupun wacana berdasarkan makna yang dipahaminya. Pada proses ini seorang pembaca literal belum sampai pada pemahaman persepsi mengenai bahan bacaannya dikarenakan belum ada tanggapan kritis pada teks bacaannya.
Berbeda dengan kemampuan membaca literal, pada tahap membaca kritis, seorang pembaca tidak sampai berhenti puas terhadap bahan bacaannya, baik uraian pengarang (sistematika penjelasan), bahasa yang dipergunakan, bahkan istilah ilmiah yang dipergunakan. Akan tetapi pada pembaca dengan kemampuan membaca kritis, pembaca berusaha untuk bertanya mengapa, dan bagaimana semua itu dapat terjadi. Oleh karena itu pada pembaca tahap ini, intelegensi umum sangat diperlukan sebagai modal utama untuk menanggapi permasalahan yang diketengahkan dalam bahan bacanya.
Sampai pada tahap membaca kreatif, pembaca pada tingkatan ini, selain kritis terhadap permasalahan konteks makna bacaan, serta disertai adanya usaha untuk mengaitkan dengan keadaan yang ada, pada tahap membaca kreatif seorang pembaaca berusaha untuk mengaplikasikan hasil dari ilmu pengetahuannya setelah membaca terhadap kehidupannya.
Sebelum melakukan aktivitas membaca seorang pembaca pada umumnya menetapkan tujuan ketika hendak memilih bahan bacaannya. Berkaitan dengan tujuan membaca, ada beberapa tujuan yang biasa digunakan oleh seorang pembaca sebelum memulai aktivitas membacanya seperti:
• Membaca untuk mengisi waktu luang.
• Membaca untuk memperoleh informasi.
• Membaca untuk menambah ilmu pengetahuan.
• Membaca untuk menghibur diri (to entertain).
• Membaca untuk menemukan gagasan-gagasan suatu bacaan, dan lain-lain disesuaikan dengan tujuan pembaca.
Hubungan antara kegiatan membaca dengan proses menyimak. Membaca dapat dikatakan sebagai proses menyimak, dalam hal ini bahan yang disimak adalah bahasa. Bahasa itu sendiri merupakan “system lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri” (Kridalaksana, harimurti. 1993. Kamus Linguistik :21). Dalam bahasan ini bahasa yang disimak adalah bahasa turunan dari parol atau ujaran, yakni bahasa tulis. Penyimak: Jika menyimak bahasa tuturan, yang disimak merupakan lambang-lambang bunyi dari sipenutur, sedangkan penyimak: jika menyimak bahasa tulis, menyimak lambang bunyi yang dilukiskan dengan huruf. Huruf (letter, script, alphabet) “tanda yang dipakai dalam aksara untuk menggambarkan bunyi manusia”. (Kridalaksana, harimurti. 1993. Kamus Linguistik :79).
Hubungan antara menyimak dengan berbicara. Baik menyimak bahasa parole maupun bahasa tulis, keduanya memberikan manfaat dalam hal penambahan kosakata bahasa. Kosakata bahasa diikuti dengan pemahaman akan penempatan kosakata dalam konteks kebahasaan, sehingga penempatan fonem, morfem, frasa, klausa, dalam bahasa ujaran, terasa terstruktur dengan baik. Dengan kata lain seorang penyimak bahasa baik itu bahasa parole maupun bahasa tulis, penyimak bahasa akan mengalami proses perkembangan linguistik pada dirinya.
Pemahaman akan penempatan kosakata sebagai alat dalam bahasa untuk berkomunikasi, bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri akan bermanfaat sebagai alat untuk bersosialisasi dengan anggota masyarakat sehingga ada analogi mudah diterima, karena bahasa yang mudah dimengerti, dipahami, dan disepakati bersama oleh masyakat.
dari menyimak lambang-lambang lisan yang telah dilakukan individu sejak ia bersosialisasi dengan bahasa ibu (mother language), yang dimulai dengan tahap meniru bunyi sampai akhirnya individu tersebut dapat berbicara untuk berkomunikasi, bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri. Bila seorang individu hanya menguasai satu bahasa saja, yakni bahasa ibu atau mother language, seorang individu tersebut dapat dikatakan memiliki kemampuan mono language, sedangkan individu jika ia dapat manguasai labih dari satu bahasa, maka individu tersebut dikatakan poly language. Bahasa lisan seringkali berubah-ubah atau tidak berstruktur, sehingga seringkali pesan yang hendak disampaikan tidak terfokus kepada titik permasalahan, dikarenakan sifatnya yang spontan, dan tidak terencana. Berbeda dengan bahasa tulis sifatnya yang terencana melalui pemikiran-pemikiran terlebih dahulu, membuat bahasa tulis dapat distrukturisasikan secara baik sebelum ditulis dalam bentuk kata, dan konteks kata untuk menyiasati paradigma dalam berkomunikasi, sehingga pesan yang hendak disampaikan oleh sender kepada receiver mudah dipahami, dan dimengerti, maksud serta tujuannya.

Kamis, 14 Juni 2012

Gallery Foto Part 2




















Rabu, 06 Juni 2012

Kata Baku dan Kata Tidak Baku


Dalam Kehidupan Sehari – hari tanpa kita sadari,kita terkadang menggunakan kata yang tidak sesuai ejaan dalam Bahasa Indonesia.Tetapi Kata Baku sangat penting untuk dikuasai dan digunakan ketika membuat suatu karya tulis ilmiah.

Apa sih pengertian Kata Baku dan Kata Tidak Baku ? ? ? Kata Baku adalah kata yang standar yang benar menurut dalam pembahasan Bahasa Indonesia, sedangkan Kata Tidak Baku adalah Kata yang salah atau tidak benar menurut dalam pembahasan Bahasa Indonesia.

Contoh 100 Kata Baku dan Kata Tidak Baku :

1. aktif : aktip
2. analisis : analisa
3. asas : azas
4. atlet : atlit
5. asasi : azasi
6. akuarium : aquarium
7. apotek : apotik
8. azan : adzan
9. aki : accu
10. adab : adap
11. bus : bis
12. biosfer : biosfir
13. cabai : cabe
14. capai : capek
15. cedera : cidera
16. cenderamata : cinderamata
17. dalam : dalem
18. debit : debet
19. deputi : deputy
20. detail : detil
21. definisi : difinisi
22. diagnosis : diagnosa
23. devaluasi : defaluasi
24. durian : duren
25. doa : do’a
26. ekstrem : ekstrim
27. elite : elit
28. ekuivalen : ekwivalen
29. familer : familiar
30. frustrasi : frustasi
31. frekuensi : frekwensi
32. genting : genteng
33. glukose : glukosa
34. gua : goa
35. guncang : goncang
36. grup : group
37. gubuk : gubug
38. hadis : hadist
39. hakikat : hakekat
40. hektare : hektar
41. heterogen : hetrogen
42. hipotesis : hipotesa
43. hipotek : hipotik
44. ideologi : idiologi
45. ijazah : ijasah
46. ikhlas : ihlas
47. imaginasi : imajinasi
48. istri : isteri
49. intelijen : inteligen
50. interupsi : intrupsi
51. insaf : insyaf
52. introspeksi : interospeksi
53. interogasi: interograsi
54. influenza : influensa
55. jadwal : jadual
56. jenazah : jenasah
57. kaidah : kaedah
58. kalau : kalo
59. kanguru : kangguru
60. karier : karir
61. kaus : kaos
62. kongres : konggres
63. kuantitas : kwantitas
64. kualitas : kwalitas
65. kuitansi : kwitansi
66. kreativitas : kreatifitas
67. konferensi : konperesi
68. konkret : kongkrit
69. karisma : kharisma
70. kualifikasi : kwalifikasi
71. labah – labah : laba – laba
72. lurus : lempeng
73. lesung pipi : lesung pipit
74. linear : linier
75. lubang : lobang
76. manajemen : managemen
77. mangkuk : mangkok
78. mantap : mantep
79. masal : massal
80. manajer : menejer
81. masjid : mesjid
82. merek : merk
83. meterai :meterei
84. mencuci : menyuci
85. masalah : masaalah
86. memesona : mempesona
87. metode : metoda
88. microbe : mikroba
89. miliar : milyar
90. monarki : monarkhi
91. misi : missi
92. moral : moril
93. mulia : milya
94. museum :musium
95. napas : nafas
96. nasihat : nasehat
97. nomor : nomer
98. objek : obyek
99. omzet : omset

100. peduli : perduli

Selasa, 05 Juni 2012

Jenis Dongeng


Ada 3 Jenis Dongeng antara lain: Dongeng binatang atau fabel, Dongen Biasa dan Dongeng Lelucon:

1).Dongeng Binatang/fabel
Dongeng Binatang atau Fabel merupakan dongeng yang mengandung pendidikan tentang perbuatan baik dan buruk binatang. Dalam fabel, tokoh binatang berperilaku seperti manusia. Hal tersebut menggambarkan watak dan budi pekerti manusia. Dongeng Kancil dan Buaya, dan Kucing Bersepatu Bot merupakan contoh dongeng binatang. Biasanya, mereka digambarkan sebagai hewan cerdik, licik, dan jenaka.

2).Dongeng biasa
Dongeng biasa merupakan cerita tentang tokoh suka dan duka. Contohnya adalah cerita Bawang Merah dan Bawang Putih dan Jaka Tarub.

3).Dongeng lelucon
Dongeng lelucon berisi cerita lucu tetang tokoh tertentu. Contoh dongeng lelucon yaitu Si Kabayan dari Jawa Barat, Lebai Malang, Pak Pandir, Pak Belalang, Lucai dari Melayu, dan Pan Balangtamak dari Bali.

Minggu, 06 Mei 2012

Kiblat dalam Sastra Indonesia


Ada sebuah pertanyaan besar yang sampai sekarang belum ada jawaban yang memuaskan. Benarkah sastra Indonesia
lahir pada 1920? Tidak sedikit pakar sastra Indonesia yang masih berpendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai
pada 1920 dengan sejumlah argumentasi yang sekilas tampak mantap. Tanpa mengulang kembali apa yang telah
disampaikan A. Teeuw, Ajip Rosidi, Yudiono K.S., Maman S. Mahayana, Bakri Siregar, bahkan Umar Junus dan
Slametmoeljana, saya mencoba melihat upaya yang dilakukan para pakar sastra lainnya dalam merekonstruksi sejarah
sastra Indonesia di era reformasi ini.

Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan
Lomonosov Moscow State University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi, mengatakan,
awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan
Sri Maharaja Siam di Betawi” (anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).

Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia
(empat jilid) yang di dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah Fansuri sekitar abad
ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak
dengan tegas menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.

Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang
sekarang diajarkan di sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan kesadaran kita
mengenai bangsa dan negara Indonesia.

Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa
sebelum akhir abad ke-19) dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta menghasilkan mata
rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan
sejarah bangsa yang telah berjalan ribuan tahun.

Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu
sekaligus menjadi kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang senafas dengan
Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka
tidak silau dengan pengaruh Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya sendiri.

Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu
saja. Ia pun menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan Indonesia yang purba
dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane,
sebaiknya kebudayaan Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).

Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada
sejarah yang terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk Commissie voor de Indlandsche
School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada
1917 mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama Balai Pustaka, kelahiran sastra
Indonesia—dengan demikian—merupakan produk politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu
hanyalah babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain, keterpengaruhan itu hanya bagian
kecil dari keindonesiaan kita.

Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk
Belanda. Dengan menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan Eropa sebagai titik
awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak
melalui sensor Balai Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai bacaan liar, yang
ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra
Indonesia.

Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa.
Sastrawan-sastrawan yang sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli Minahasa,
seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J. Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra
Indonesia yang berhasil diselamatkan.

Terbitnya buku Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer pada 1982 (dan direvisi pada
2003) ini memiliki dua arti penting. Pertama, ada semacam pengakuan terhadap eksistensi sastra Indonesia yang
menggunakan bahasa Melayu pasar. Pram pun telah berjasa karena telah menjalin kembali mata rantai sejarah sastra
(dan juga kebudayaan) yang terputus akibat pemikiran STA.

Kedua, hasil penelusuran semacam itu sekaligus memperlihatkan sebuah babak yang unik dalam sejarah sastra
Indonesia bahwa politik etis kolonial Belanda yang diskriminatif, terlebih di dunia pendidikan, menghasilkan produk yang
tidak adil bagi bangsa pribumi. Akibatnya, hanya mereka yang boleh mengecap pendidikan “Barat” yang memiliki
kemampuan berproduksi, yakni kaum peranakan dan golongan ningrat.

Karena itu, hanya kaum terpelajar seperti F.D.J. Pangemanann, sastrawan Minahasa yang juga pemimpin redaksi koran
berbahasa Melayu, Djawa Tengah (1913-1938) dan bangsawan Jawa Noto Soeroto yang menghasilkan karya sastra pada
masa maraknya sastra berbahasa Melayu pasar. Noto Soeroto sendiri menulis dalam bahasa Belanda, di antaranya
Melatiknoppen (‘Kuntum-kuntum Melati’) pada 1915 dan Wayang-liederan (‘Dendang Wayang’) pada 1931, yang menurut
Dick Hartoko berisi potret diri Noto Soeroto yang hidup dalam kemiskinan dan teralienasi dari masyarakatnya karena
memilih sikap kooperatif dengan kolonial Belanda saat itu.

Sementara itu, karya Taufiq Ismail dkk., Horison Sastra Indonesia, memiliki arti sekaligus pesan penting bagi pembacanya
untuk tidak melupakan karya sastra Indonesia “klasik” yang telah ditulis oleh pujangga-pujangga zaman dulu, seperti
Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, Raja Ali Haji, Chik Pantee Kulu, Haji Hasan Mustapa, Tan Teng Kie, bahkan karya besar
dari Bugis, I La Galigo (anonim, disusun Arung Pancana Toa).

Apa yang dilakukan Ibnu Wahyudi dan Taufiq Ismail dkk. sudah memberi sumbangan yang sangat berarti bagi pelurusan
sejarah sastra Indonesia. Hanya saja, perlu dilakukan upaya yang lebih radikal untuk kemajuan sastra Indonesia itu
sendiri.

Seperti yang kita ketahui, sebelum proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945, manusia yang mendiami
wilayah Indonesia sudah memiliki kebudayaan masing-masing. Salah satu anasir badaya yang mereka hasilkan adalah
karya sastra yang menggunakan bahasa ibu (bahasa daerah).

Dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang karya P.J. Zoetmulder (1983), karya sastra tertua yang
menggunakan bahasa Jawa kuno adalah Arjunawiwaha (‘Perkawinan Arjuna’) karya Empu Kanwa yang terbit sekitar 1028-
1035 di masa kerajaan Airlangga. Sementara dalam buku Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu
dalam Abad 7--19 karya Vladimir I. Braginsky (1998) disebutkan bahwa pada Zaman Pertengahan, sastrawan-sastrawan
Melayu telah menghasilkan karya sastra yang mendunia.

Dengan tegas Braginsky menyatakan, “Bagi dunia Timur, dan dunia Melayu tidak terkecuali, yang tradisional dan yang
modern saling berjalinan dengan erat dan kuat. Sehingga tanpa mengenal yang pertama, orang tidak mungkin
menghayati kedalaman makna yang kedua. Ini berarti, bahwa hanya dengan demikianlah orang bisa menyelami sebab-
musabab proses-proses yang kini tengah berlangsung di Indonesia… Di dunia Timur, bidang sastra ini juga menyimpan
hakikat dari tradisi-tradisi yang hidup, dan memaparkannya pada generasi-generasi yang mendatang dengan lebih baik,
dibandingkan dengan bidang-bidang kebudayaan apa pun lainnya.”

Datangnya pengaruh Hindu/Buddha, Islam, kemudian pengaruh Barat telah memberi warna baru yang memperkaya dan
mematangkan kebudayaan Indonesia, termasuk di dalamnya khazanah sastra Indonesia. Sebagaimana yang terjadi di
ranah agama, di ranah sastra pun terjadi “sinkretisme” yang dilakukan sastrawan setempat dengan pengaruh luar. Boleh
saja Rudyard Kipling mengatakan East is east and west is west and the twin shall never meet. Tapi, bagi manusia Jawa,
memadukan dua hal yang bertentangan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin. Hal ini bisa terlihat dalam kakawin
Sutasoma karya Empu Tantular, misalnya.

Dari uraian singkat di atas, saya ingin menarik kesimpulan bahwa setidaknya ada dua “kiblat” dalam sastra Indonesia,
yakni sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Hindu/Buddha yang sangat kuat, yang berpusat di Jawa dan
sastra Indonesia yang masih memperlihatkan pengaruh Islam yang sangat kuat, yang berpusat di Sumatera. Kedua
“kiblat” itu bisa menjadi runutan dan rujukan berkaitan dengan penentuan awal kelahiran sastra Indonesia. Kesimpulan ini
diperkuat oleh hasil penelitian E.U. Kratz pada 1983 yang memperlihatkan bahwa sastrawan yang berasal dari Jawa
(52,8%) dan Sumatera (30,3%) yang kini berperan besar dalam menghidupkan denyut nadi sastra Indonesia.

TIPS MEMBUAT KARYA TULIS ESAI


Untuk membuat sebuah esai yang berkualitas, diperlukan kemampuan dasar menulis dan latihan yang terus menerus. Berikut ini panduan dasar dalam menulis sebuah esai.
Struktur Sebuah Esai
Pada dasarnya, sebuah esai terbagi minimum dalam lima paragraf:
1. Paragraf pertama
Dalam paragraf ini penulis memperkenalkan topik yang akan dikemukakan, berikut tesisnya. Tesis ini harus dikemukakan dalam kalimat yang singkat dan jelas, sedapat mungkin pada kalimat pertama. Selanjutnya pembaca diperkenalkan pada tiga paragraf berikutnya yang mengembangkan tesis tersebut dalam beberapa sub topik.
2. Paragraf kedua sampai kelima
Ketiga paragraf ini disebut tubuh dari sebuah esai yang memiliki struktur yang sama. Kalimat pendukung tesis dan argumen-argumennya dituliskan sebagai analisa dengan melihat relevansi dan relasinya dengan masing-masing sub topik.
3. Paragraf kelima (terakhir)
Paragraf kelima merupakan paragraf kesimpulan. Tuliskan kembali tesis dan sub topik yang telah dibahas dalam paragraf kedua sampai kelima sebagai sebuah sintesis untuk meyakinkan pembaca
Langkah-langkah membuat Esai
1. Tentukan topik
2. Buatlah outline atau garis besar ide-ide anda
3. Tuliskan tesis anda dalam kalimat yang singkat dan jelas
4. Tuliskan tubuh tesis anda:
5. Mulailah dengan poin-poin penting
6. kemudian buatlah beberapa sub topik
7. Kembangkan sub topik yang telah anda buat
8. Buatlah paragraf pertama (pendahuluan)
9. Tuliskan kesimpulan
10. Berikan sentuhan terakhir

Sastra Dan Studi Marxsis


teori sastra menurut marxis yang sebenarnya adalah sebuah makalah/tinjauan ataupun pengajaran dari sebuah universitas, namun saya menemukanya dibagikan secara gratis dan yang jelas Universitas ini bisa dipertanggungjawabkan keabsahanya tentang ilmu sastra
Pengertian Teori Sastra
Secara umum, yang dimaksudkan dengan teori adalah suatu sistem ilmiah atau pengetahuan sistematik yang menetapkan pola pengaturan hubungan antara gejala-gejala yang diamati.
Teori berisi konsep atau uraian tentang hukum-hukum umum suatu objek ilmu pengetahuan dari sudut pandang tertentu.
Suatu teori dapat dideduksi secara logis dan dicek kebenarannya atau dibantah kesahihannya
pada objek atau gejala yang diamati tersebut.

Menurut Rene Wellek dan Austin (1993: 37-46) dalam wilayah sastra perlu terlebih dahulu ditarik perbedaan antara sastra di satu pihak dengan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra di pihak lain. Sastra adalah suatu kegiatan kreatif.
Sedangkan teori sastra, kritik sastra, dan sejarah sastra merupakan cabang ilmu sastra. Teori sastra adalah studi prinsip, kategori, kriteria yang dapat diacu dan dijadikan titik tolak dalam telaah di bidang sastra. Sedangkan studi terhadap karya konkret disebut kritik sastra dan sejarah sastra. Ketiganya berkaitan erat
sekali. Tidak mungkin kita menyusun teori sastra tanpa kritik sastra dan teori sastra, kritik sastra tanpa teori sastra dan sejarah sastra (Wellek & Warren, 1993: 39).

Ruang Lingkup
Ruang lingkup sastra (literature) adalah kreativitas penciptaan, sedangkan ruang lingkup studi sastra (literary studies) adalah ilmu dengan sastra sebagai objeknya. Sastra, dengan demikian berfokus pada kreativitas, sedangkan studi sastra berfokus pada ilmu.
Pertanggungjawaban studi sastra adalah logika ilmiah. Karena ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan, maka karya sastra (puisi, drama, novel, cerpen) adalah sastra.
Namun, karena kritik sastra juga merupakan kreativitas dalam menanggapi karya sastra dan masalah kreativitas penciptaan lain dalam sastra, maka kritik sastra dalam bentuk esai tidak lain adalah sastra juga. Kritik sastra yang benar bukanlah kritik sastra yang asal-asalan, tetapi berlandaskan pada logika yang dapat dipertanggungjawabkan.
Prev