Selasa, 24 April 2012

Hal Ihwal Pengajaran Sastra


Pengajaran merupakan interaksi belajar dan mengajar. Pengajaran berlangsung sebagai suatu proses saling mempengaruhi antara pengajar dan siswa. Diantara keduanya terdapat hubungan atau komunikasi interaksi. Pengajaran merupakan suatu pola yang di dalamnya tersusun suatu prosedur yang direncanakan (Ampera, 2010:6). Selain itu, pada dasarnya sastra merupakan produk budaya, kreasi pengarang yang hidup dan terkait dengan tata kehidupan masyarakat. Sastra memberikan wujud dan menggambarkan kehidupan dan realitas sosial yang ada di masyarakat.

Pengajaran sastra pada dasarnya memiliki peranan dalam peningkatan pemahaman siswa. Apabila karya-karya sastra tidak memiliki manfaat, dalam menafsirkan masalah-masalah dalam dunia nyata, maka karya sastra tidak akan bernilai bagi pembacanya. Pada dasarnya pengajaran sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata, maka dapat dipandang pengajaran sastra menduduki tempat yang yang selayaknya. Jika pengajaran sastra dilakukan secara tepat maka pengajaran sastra dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat (Rahmanto, 1996:15). Melalui hal tersebut, sastra memberikan pengaruh terhadap pembacanya. Sastra membentuk pola pikiran dan respon pembaca terhadap apa yang dibacanya dengaan aktivitas kesehariaanya yang saling berkaitan.

Pengajaran bahasa dan sastra pada umumnya mengalami kendala dan hambatan. Khususnya pada pengajaran sastra yang terkadang dianggap kurang bermanfaat. Sikap yang kurang apresiatif muncul dari siswa dan guru, sehingga pengajaran sastra terabaikan. Kemendiknas (2011:59) menyatakan penyajian pengajaran sastra hanya sekedar memenuhi tuntutan kurikulm, kering, kurang hidup, dan cenderung kurang mendapat tempat dihati siswa. Pengajaran sastra diberbagai jenjang pendidikan selama ini dianggap kurang penting dan dianaktirikan oleh para guru, apalagi para guru yang pengetahuan dan apresiasi (dan budayanya) rendah. Hakikat dari tujuan pengajaran sastra yaitu untuk menumbuhkan keterampilan, rasa cinta dan penghargaan para siswa terhadap bahasa dan sastra Indonesia sebagai budaya warisan leluhur. Pada pengajarannya pula sastra memiliki problematika yang mempengaruhi minat dan keinginan siswa untuk mengikuti pengajaran dengan baik.

  1. 2. Manfaat Pengajaran Sastra

Sastra merupakan wujud dari hasil pemikiran, pandangan dan gagasan dari seseorang. Sastra diciptakan oleh pengarang berdasarkan pola pikir dan ide kreatif yang dibangun secara mandiri Pemikiran, gagasan dan pola pikir dari pengarang pada dasarnya bersumber dari keadaan-keadaan sekitar lingkup pengarang. Oleh karena itu, di dalam karya sastra terdapat tafsiran-tafsiran masalah dunia nyata. Sastra memiliki hubungan dalam kehidupan dunia nyata. Dengan demikian, pada dasarnya karya sastra memiliki peran dan kedudukan yang penting. Senada dengan hal itu, menurut Rahmanto (1996:16—25) manfaat pengajaran sastra dalam dunia pendidikan adalah sebagai berikut:

1) Membantu keterampilan berbahasa

Terdapat empat keterampilan berbahasa yaitu, membaca, menyimak, menulis dan berbicara. Pada proses pembelajaran tersebut, siswa dapat meningkatkan kemampuannya melalui kegitatan bersastra. Pengajaran sastra berperan meningkatkan keterampilan membaca siswa, misalnya saat siswa membaca puisi atau membaca prosa/cerita. Melatih keterampilan berbicara saat siswa ikut berperan dalam suatu drama. Selain itu, dapat melatih keterampilan menyimak saat guru membacakan suatu karya sastra, atau saat mendengarkan karya sastra melalui rekaman. Pengajaran sastra juga membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan menulis dengan menulis karya-karya sastra.

2) Meningkatkan pengetahuan budaya

Dalam sistem pendidikan seharusnya disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi peserta didiknya. Pemahaman budaya berperan untuk menumbuhkan rasa bangga, rasa percaya diri dan rasa ikut memiliki. Beberapa pengetahuan khusus mengenai budaya sendiri, pada dasarnya menjadi ciri khas. Hal ini membantu menggenalkan karakter dan identitas budaya yang ada. Pengajaran sastra jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar siswa berkenalan dengan budaya, karakter suatu hal tertentu.

3) Mengembangkan cipta dan rasa

Siswa merupakan individu yang memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Siswa pada dasarnya memiliki kecakapan dan siswa pula menunjukkan kekurangannya. Secara umum kita memandang siswa pada satu kesatuan yang kompleks, dengan memberikan perlakuaan yang sama. Namun, pada dasarnya siswa memiliki kecakapan dan kekurangan tersendiri. Oleh karena itu, siswa butuh diarahkan agar siswa menyadari potensinya. Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indera; bersifat penalaran; yang bersifat objektif; dan bersifat sosial; serta dapat ditambah lagi dengan sifat religius. Pengajaran sastra yang dilakukan secara benar akan dapat mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Secara rinci dijelaskan berdasarkan uraian sebagai berikut:

a)Indera

Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang diterima oleh panca indera seperti indera penglihatan, indera pendengaran, indera pengecapan dan indera peraba. Seorang pengarang pada dasarnya seorang yang memiliki berbudi halus, peka dan mampu menyampaikan apa yang mereka hayati kepada pembaca. Dengan mengikuti tafsiran serta makna-makna yang mereka ungkapkan siswa akan diantar untuk membedakan hal satu dengan hal lain.

b) Penalaran

Berpikir logis banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketetapan interprestasi kebahasaan, klasifikasi dan pengumpulan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangkaian tindakan yang tepat. Pengajaran sastra jika diarahkan dengan tepat akan membantu siswa latihan memecahkan masalah-masalah berfikir logis semacam itu. Bahkan di samping sarat dengan kecakapan berpikir logis itu, pengajaran sastra juga meliputi kecakapan-kecakapan pilihan seperti dugaan, kebiasaan, tradisi, dorongan dan sebagainya. Tentu saja, siswa tidak bisa langsung diharapkan untuk melakukan hal tersebut. Namun, sejak awal para guru sastra hendaknya melatih siswa untuk memahami fakta-fakta, membedakan mana yang pasti dan mana yang dugaan, memberikan bukti tentang suatu pendapat, serta mengenal argumentasi yang tepat.

c)Perasaan

Kepekaan rasa dan emosi sering dikaitkan erat dengan pengajaran sastra, dan hal ini mungkin patut untuk dipertahankan. Pengertian perasaan ini memang agak kabur dan bahkan mereka yang yakin akan adanya perasaan itu tetap tidak selalu dapat mengerti dengan jelas apa maksudnya. Sehubungan dengan perasaan, sastra mungkin dapat menghadirkan problem atau situasi yang merangsang tanggapan perasaan atau tanggapan emonsional. Situasi dan problem itu diungkapkan oleh pengarang dengan cara-cara yang memungkinkan kita tergerak untuk menjelajahi dan mengembangkan perasaan kita sesuai dengan kodrat manusia.

d) Kesadaran Sosial

Sastra dapat digunakan untuk menumbuhkan kesadaran pemahaman terhadap orang lain. Para pengarang modern telah banyak berusaha merangsang minat dan menumbuhkan rasa simpati kita terhadap masalah-masalah yang dihadapi orang-orang tertindas, gagal, kalah, putus asa. Secara tidak langsung sastra memberikan kesadaran dengan membawa pesan untuk dipahami oleh pembacanya.

e)Religius

Banyak orang yang menyatakan dirinya sibuk dan tidak mempunyai waktu untuk hal-hal yang berhubungan dengan rasa religius ini. Akan tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa mereka hanya dapat memahami dan menjalani hidup sehari-hari dengan memdasarkan pemikiran dan tindakan merka pada sistem kepercayaan yang mereka yakini.

4) Menunjang pembentukan watak

Dalam nilai pengajaran sastra terdapat dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan pembentukkan watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengenal rangkaian kemungkinan hidup manusia seperti; kebahagian, kebebasan, kesetian, kebanggaan diri sampai kelemahan, kekalahan, keputusasaan, kebencian, perceraian dan kematian. Seseorang yang mendalami sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal yang lebih bernilai dan tak bernilai. Selain itu, tuntunan yang kedua yaitu, dalam pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pengimajian dan penciptaan. Sastra seperti yang kita ketahui, sanggup memuat berbagai medan pengalaman yang sangat luas.

Pengajaran sastra memiliki manfaat bagi siswa. Selain manfaat yang dikemukakan di atas sastra memiliki fungsi dalam pembentukan kepribadiaan. Bagaimana peran sastra pada karakter siswa dan penanaman nilai-nilai agama. Di dalam Kemendiknas (2011: 15—22) mengemukakan fungsi dalam membentuk kepribadian. Hal tersebut dijelaskan secara rinci sebagai berikut:

a) Sastra Sebagai Pembentuk Karakter Anak

Sastra anak adalah citraan atau metafora kehidupan yang disampaikan kepada anak-anak yang melibatkan aspek emosi, perasaan, pikiran, saraf sensori, maupun pengalaman moral dan dieskspresikan dalam bentuk-bentuk kebahassaan yang dapat dijangkau dan dipahami oleh anak-anak. Sastra dinilai dapat membentuk karakter denan efektif karena nilai-nilai dan moral yang terdapat dalam karya sastra tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui metafora-metafora sehingga menjadi menyenangkan dan tidak menggurui. Nilai-nilai yang terkandung dapat diresepsi oleh anak dan merekonstruksi sikap dan kepribadian mereka.

b) Sastra Sebagai Strategi Penanaman Nilai-Nilai Agama

Seorang pengarang tidak dapat terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang bersumber dari ajaran agama yang tampak dalam kehidupan. Pandangan itu erat dengan proses penciptaan karya sastra, bahwa ia tidak lahir dalam situasi kekosongan budaya. Sastra tumbuh dari sesuatu yang bersifat religius. Sastra yang bercorak pada nilai-nilai agama merupakan pengungkapan jiwa dan sarana untuk melakukan ibadah pada pencipta. Intinya. Karya sastra seharusnya memberikan hikmah. Hikmah karya sastra yang baik adalah bisa membuat orang membacanya tercerahkan. Hikmah itu dapat berupa nilai dan kearifan.

c) Sastra Sebagai Pembinaan dari Krisis Moral dan Krisis Keteladanan

Arah moderenisasi memberikan banyak perubahan bagi masyarakat. Perubahan yang justru mengarah pada krisis moral dan akhlak. Persoalan lainnya pula terletak pada krisis keteladanan. Krisis moral tersebut bisa diatasi dengan pembinaan watak. Dalam lingkup sekolah, misalnya, pembinaan watak diterapkan pada pengajaran sastra. Artinya pengajaran sastra berdimensi moral. Pengajaran sastra mampu dijadikan sebagai pintu masuk dalam penanaman nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral seperti kejujuran, pengorbanan, demokrasi, santun dan sebagainya banyak ditemukan di dalam karya sastra. Baik puisi, cerita pendek, novel maupun drama. Bila karya sastra itu dibaca, dipahami isi dan maknanya, serta ditanamkan pada diri siswa, sehingga mampu mengatasi krisis moral dan karya sastra sebagai objek keteladanan yang baik.

  1. 3. Permasalahan Pengajaran Sastra Di Sekolah

Pengajaran sastra mencakup tiga genre, yaitu prosa, fiksi, puisi dan drama. Dalam pengaplikasiaanya dengan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai kegiatan aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Pada pengajaranya terdapat permasalahan yang menghambat proses pembelajaran. Berikut Kemendiknas (2011: 59—68) dikemukakan permasalahan dalam pengajaran sastra dan bagaimanakah seharusnya peran guru sastra untuk membina pengajaran sastra, yaitu sebagai berikut:

a) Problematika Pengajaran Sastra di Indonesia

Problematika pengajaran sastra di sekolah dikaitkan pada sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuhkembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru dapat mengusahakan karya sastra yang dimuat di media massa dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio. Beberapa hal lain pula adanya anggapan gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra itu.

Sistem pendidikan di Indonesia acapkali memaksa sekolah sebagai penyelenggara pendidikan dan guru sebagai ujung tombak mengingkari hakikat pendidikan. Target perolehan nilai tertentu harus dicapai dengan standar penilaian ujian nasional, memicu pengingkaran tujuan pendidikan yang sebenarnya sehingga tidak urung memaksa guru bahasa menomorduakan sastra. Faktor rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMA memiliki pengaruh terhadap karya sastra. Pengetahuan sastra yang kurang menjadi faktor lain, hal ini sangat tidak setara jika dibandingkan dengan pengetahuan siswa tentang dunia hiburan atau selebriti.

Permasalahan lain, kurikulum pendidikan yang saat ini digunakan tidak pernah memberikan ruang gerak pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat dan tujuan itu sendiri. Pada kenyataan guru pun masih dihadapkan dengan seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah dipatenkan dan menghambat kreativitas guru dan dengan sendirinya pembelajaran sastra menjadi terpinggirkan.

b) Tugas dan Peran Guru pada Pengajaran Sastra

Tugas guru sastra tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui baik kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang dibatasi dinding kelas. Hasilnya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal, misalnya ketika siswa mendapat tugas menulis puisi berkenaan dengan alam. Namun guru bersangkutan tidak mengajak ke alam terbuka. Padahal pemanfaatan situasi menumbuhkembangkan daya imajinasi kreasi mereka dalam penciptaan puisi.

Dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menciptkan srategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut untuk mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman.

  1. 4. Materi Pengajaran Sastra

4.1.1 Memilih Bahan Pengajaran Sastra

Bahan pengajaran sastra sangat penting pada proses pembelajaran. Materi yang sesuai akan dapat membantu siswa lebih mudah utuk memahami karya sastra. Materi ajar yang rumit dan sulit akan membuat siswa merasa bosan untuk menikmati karya sastranya. Rahmanto (1996:27—33) mengemukakan beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam memilih pengajaran sastra yaitu sebagai berikut:

a) Bahasa

Penguasaan suatu bahasa sebenarnya tumbuh dan berkembang melalui tahap-tahap yang Nampak jelas pada setiap individu. Sementara perkembangan karya sastra melewati tahap-tahap yang meliputi banyak aspe kebahasaan. Aspek kebahasaan dalam sastra tidak hanya ditentukan oleh masalah-masalah yang akan dibahas, tapi juga faktor lain seperti: cara penulisan yang dipakai si pengarang, ciri-ciri karya sastra pada waktu penulisan karya itu, dan kelompok pembaca yang ingin dijangkau pengarang.

b) Psikologi

Dalam memilih bahan pengajaran sastra, tahap-tahap perkembangan psikologis hendaknya diperhatikan karena tahap-tahap ini sangat besar pengaruhnya terhadap minta dan keenggaan anak didik dalam banyak hal. Tahap perkembangan psikologi ini juga sangat besar pengaruhnya terhadap daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan situasi atau pemecahan problem.

c) Latar belakang budaya

Biasanya siswa akan lebih mudah tertarik pada karya-karya sastra dengan latar belakang yang erat hubungannya dengan latar belakang kehidupan mereka, terutama bila karya sastra itu menghadirkan tokoh yang berasal dari lingkungan mereka atau yang memiliki kesamaan dengan mereka.Dengan demikian secara umum hendaknya guru sastra memilih bahan pengajaran dengan menggunakan prinsip yang mengutamakan karya-karya sastra yang latar ceritanya dikenal siswa. Karya-karya sastra dengan latar budaya sendiri yang dikenal siswa, akan membantu siswa untuk memahami budayanya sendiri.

  1. 5. Penerapan Pengajaran Sastra

5.1 Pengajaran Puisi

a) Hambatan Pengajaran Puisi

Dalam pengajaran puisi terdapat hambatan-hambatan yang mengganggu. Rahmanto (1996:44—45) mengemukakan hambatatan yang mengganggu bagaimana cara menikmati puisi yaitu; 1) Hambatan pertama adalah anggapan sementara orang yang berpendapat bahwa secara praktis puisi sudah tidak ada lagi gunanya. 2) pandangan yang disertai prasangka bahwa mempelajari puisi sering tersandung pada pengalaman pahit.

b) Teknik Pengajaran Puisi

Teknik pengajaran sangat beperan untuk mengatur proses pembelajaran. Teknik mampu mengarahkan agar proses pembelajaran sastra tepat dan dapat dipahami oleh siswa. Berdasarkan hal tersebut pula, Rahmanto (1996:48—53) mengemukakan teknik-teknik pengajaran puisi, yaitu sebagai berikut:

  1. Pelacakan pendahuluan, yaitu sebelum mengajar guru harus memahami tentang puisi yang akan disajikannya. Pemahaman ini penting untuk menemukan strategi yang tepat dan menentukan aspek-aspek yang membutuhkan perhatian khusus dari siswa.
  2. Penentuan sikap praktis, yaitu dalam mengajar sebaiknya puisi yang dibahas tidak terlalu panjang sehingga selesai pada setiap pertemuan. Selain itu ditentukan pula informasi apa yang seharusnya dapat diberikan untuk mempermudah siswa memahami puisi.
  3. Introduksi, banyak faktor yang mempengaruhi penyajian pengantar ini, termasuk situasi dan kondisi pada saat materi disajikan. Pengantar ini akan sangat tergantung pada individu guru, keadaan siswa dan karakteristik puisi yang diberikan.
  4. Penyajian, puisi merupakan bentuk sastra lisan. Dalam menyajikannya, pesan dan kesan yang dibawakan baru akan benar-benar menyentuh gerak hati seseorang apabila puisi itu dibacakan atau dikutip secara lisan. Puisi memiliki nilai-nilai iramatis dan dramatis yang sangat menentukan kualitasnya.
  5. Diskusi, dalam hal ini imajinasi guru sangat mempengaruhi masalah yang akan dibahas, baik mengenai kekhususan puisi dan tanggapan siswa dikelas.
  6. Pengukuhan, pada tahap ini terdapat langkah-langkah yaitu, pada dasarnya harus diusahakan siswa membacakan puisi secara lisan dan akan lebih baik lagi jika siswa mampu menulis puisi.

c) Penerapan Model Formeaning Response untuk Pengajaran Puisi

Model dan strategi pada dasarnya bertujuan untuk membantu proses pembelajaran agar berlangsung baik dan sesuai dengan apa yang diharapkan. Dalam hal ini diterapkan model formeaning response untuk meningkatkan kemampuan menulis puisi siswa. Menurut Nurhayati (2011) strategi formeaning response merupakan kombinasi dua srategi yakni strategi stilistik dan respon pembaca. Kata formeaning berasal dari kata form dan meaning yang mengacu pada strategi stilistik yakni startegi yang berpusat kepada bahasa yang terdapat dalam karya sastra/puisi. Kata response mengacu pada srategi respon pembaca mengasumsikan bahwa ketika siswa secara personal bergaul dengan karya sastra menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka masing-masing.

Menurut Kelem dikutip Nurhayati (2011) terdapat delapan kegiatan pelaksanaan model formeaning response yaitu sebagai berikut: 1) kegiatan warm-up, yaitu kegiatan brainstorming dengan mengekspresikan opini siswa terhadap puisi yang akan dibaca. 2) kegiatan memfokuskan bentuk dan makna puisi yang berkaitan dengan unsur-unsur puisi. Kegiatan ini berupa latihan memberikan beberapa alternatif kata-kata yang sesuai atau tepat terhadap kata-kata yang “khas” dalam konteks keseluruhan puisi. 3) Kegiatan menyimak kata-kata yang dirumpangkan. Guru melisankan puisi yang telah dirumpangkan kata-kata tertentu. 4) Kegiatan mendaftar kata-kata kerja atau sambung dan objek-objek kongret dalam puisi. Siswa kemudian diminta untuk mengelompokkan kata-kata itu berdasarkan kategori kata. 5) Kegiatan berdiskusi, kelompok kecil (2 atau 3 orang). 6) Kegiatan mengambar, siswa membuat gambar tokoh-tokoh yang ada dalam puisi. 7) Kegiatan role play. Siswa melakukan kegiatan bermain peran dengan berlaku seperti layaknya tokoh-tokoh yang ada dalam puisi. 8) Kegiatan menulis surat. Kegiatan selanjutnya ialah kegiatan merespon puisi dengan cara mengirim surat kepada tokoh yang ada dalam puisi, memberi saran kepada tokoh, atau membuat catatan tentang tokoh.

5.2 Pengajaran Prosa Cerita

a) Prosa

Prosa merupakan karangan bebas yang diekspresikan pengarang. Prosa diciptakan berdasarkan ide dan imajinasi penulis. Menurut Supriyadi (2006:27) mengemukakan prosa adalah karangan sastra bebas yang mengekspresikan pengalaman batin pengarang mengenai masalah hidup dan kehidupan dengan bahasa yang indah (estetik). Berdasarkan isi karangan, karya sastra dibedakan menjadi dua yaitu, karya sastra prosa fiksi dan prosa nonfiksi. Sedangkan berdasarkan waktu, prosa dapat digolongkan dalam prosa lama, sebelum zaman Balai Pustaka dan prosa baru sesudah zaman Balai Pustaka. Selain itu, Supriyadi (2006:28) mengemukakan prosa fiksi berarti prosa yang isinya/ceritanya hasil rekaan atau khayalan pengarangnya. Prosa fiksi didefinisikan sebagai cerita sastra yang menggunakan bahasa yang estetis. Jenis prosa fiksi terdiri atas dongeng, hikayat, roman, novel, cergam dan cerpen.

Prosa non fiksi adalah karangan sastra yang isinya menceritakan hidup dan kehidupan tokoh-tokohnya secara mendatar. Jenis-jenis prosa non fiksi adalah biografi/otobiografi, sejarah/babat, esai, kritik, surat-surat, memoar (Supriyadi, 2006:41).

b) Novel dan Cerita Pendek

Dalam The American Collage Dictionarry dikutip Tarigan (2011:167) “bahwa novel adalah suatu prosa yang fiktif dalam panjang tertentu, yang melukiskan para tokoh, gerak, serta adegan kehidupan nyata yang representative dalam suatu alur atau suatu keadaan yang agak kacau dan kusut”. Sedangkan, cerita pendek adalah penyajian suatu keadaan tersendiri atau suatu kelompok keadaan yang memberikan kesan yang tunggal pada jiwa pembaca. (Ellery Sedwig dikutip Tarigan, 2011:179).

Novel dan cerita pendek memiliki perbedaan, menurut Tarigan (2011:173) perbedaan novel dan cerita pendek terlihat pada jumlah kata, jumlah halaman, serta jumlah waktu saat membacanya. Selain itu, cerita pendek menyajikan satu emosi saja, sedangkan novel lebih dari satu emosi. Cerita pendek pula menyajikan satu kesatuan efek sedangkan novel menyajikan lebih dari satu efek.

c) Unsur-unsur Novel

Novel memiliki unsur-unsur yang mempengaruhi pembentukkannya, menurut Rahmanto (1996:70—75) unsur-unsurnya yaitu:

  1. Latar, yaitu unsur dari prosa yang menyangkut tentang lingkungan, geografi, sosial, sejarah, dan bahkan lingkungan politik atau latar belakang tempat atau kisah berlangsung.
  2. Perwatakan merupakan daya tarik pembaca, melalui perwatakan terpancar imajianasi kreatif seorang pengarang. Unsur perwatakan ini terbagi atas dua makna, yaitu perwatakan sebagai dramatik persona yang menunjuk pada pribadi yang mengambil bagian di dalamnya. Kedua, menunjukkan kualitas khas perwatakan tersebut pada pribadi tertentu.
  3. Cerita, pada dasarnya unsur cerita sangat penting pada suatu novel. Unsur tentang ‘apa yang terjadi” dan “mengapa terjadi’ pada satu peristiwa sangat menarik perhatian. Cerita yang menggambarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan manusia baik konflik fisik maupun batin yang terjadi dalam suatu cerita.
  4. Teknik cerita, yaitu teknik yang digunakan pengarang untuk menceritakan. Misalnya cerita yang disajikan pengarang tentang orang pertama atau orang ketiga, dan cerita tentang tokoh yang disajikan pengarang lewat beberapa tokoh dalam novel secara bergantian.
  5. Bahasa, unsur-unsur kebahasaan dalam suatu novel merupakan sumber bahan yang cukup luas untuk dipelajari. Untuk mendeskripsikan dan membuat definisi di dalam novelnya, biasanya penulis menggunakan pola kebahasaan yang seragam dari awal sampai akhir.
  6. Tema merupakan kesimpulan dari fakta-fakta yang telah ada. Pada dasarnya puncak dalam mempelajari novel sebenarnya menemukan kesimpulan dari seluruh analisis fakta-fakta dalam cerita yang yang telah dicerna. Fakta-fakta yang ada dalam cerita berperan sebagai model-model universal yang dihadapi oleh manusia. Bahkan hasil analisis fakta-fakta cerita memberikan saran untuk memecahkan problem yang ada.

d) Teknik Sumbang Saran untuk Apreasiasi Prosa

  1. Prinsip Teknik Sumbang Saran

Teknik sumbang saran merupakan teknik pengajaran dalam sastra. Teknik pengajaran ini menurut Ampera (2010:68) adalah teknik yang dapat membantu pengajaran sastra. Teknik sumbang saran adalah teknik pengajaran sastra berbentuk permbincangan kreatif setiap individu dalam suatu kelompok untuk mendapatkan suatu rumusan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. Teknik sumbang saran ini memberikan peluang kepada siswa untuk berpikir analitis dan kreatif. Setiap anggota kelompok mendapatkan kesempatan untuk menyumbangkan ide atau gagasan secara kreatif. Setiap ide dan gagasan yang diungkapkan, kemudian didiskusikan, hingga diperoleh kesimpulan.

Dalam teknik sumbang saran, faktor yang harus menjadi pusat perhatian adalah gagasan, waktu, dan jumlah anggota kelompok. Kemudian banyaknya gagasan tergantung pada banyaknya anggota kelompok, hal ini pun akan berpengaruh pada pelaksanaan diskusi. Sebaiknya waktu dibatasi tidak terlalu lama, sekitar 30 sampai 40 menit. Setiap anggota diberi kebebasan untuk memberikan saran secara bergiliran.

  1. Teknik Sumbang Saran dalam Apreasiasi Prosa.

Sebelum pengajaran dimulai, pengajar sudah memilih karya sastra dalam bentuk prosa, misalnya cerita pendek untuk bahan apresiasi. Kemudian membagi siswa ke dalam beberapa kelompok serta menentukan ketua kelompok. Sebelum kegiatan dimulai, pengajar menerangkan tajuk kegiatan pokok-pokok yang berkaitan dengan materi pembelajaran.

Siswa perlu memahami unsur-unsur pembangun sastra, berupa latar, alur, watak dan perwatakan, sudut pandang, tema dan amanat. Pengajar bertindak sebagai fasilisator. Selepas kegiatan, pengajar melakukan evaluasi dan memilih gagasan yang baik, serta memilih siswa yang memperlihatkan tindak tutur yang baik dalam menyampaikan gagasannya (Ampera, 2010:69).

5.3 Pengajaran Drama

a) Unsur-unsur Drama

Unsur-unsur drama menurut Tarigan (2011:75—81) yaitu, 1) Alur, dalam drama diawali dengan tahapan-tahapn yaitu, eksposisi, komplikasi, resolusi, klimaks, peleraian dan babak akhir. 2) Penokohan, dalam suatu lakon terdapat pelaku atau aktor yang berperan dalam drama tersebut. 3) Dialog pada drama membantu mempertinggi nilai gerak dan menjadi inti utama dalam unsur-unsur drama. 4) Aneka sarana kesastraan dan kedramaan yang mendukung penampilan pelaku dalam suatu drama.

b) Jenis-jenis drama

Menurut jenisnya drama terbagi atas empat jenis yaitu, 1) tragedi, dapat berupa kisah kasihan karena penderitaan yang ditanggung oleh pelaku utama. 2) komedi merupakan kelucuan yang dihasilkan, yaitu berupa humor, yang kelucuanya tidak dibuat-buat. 3) melodrama, memunculkan rasa kasihan tetapi lebih cenderung ke arah sentimentil dan tokoh utama biasanya menang dalam perjuangan. 4) farce, dalam hal ini contohnya melodrama bagi tragedi, sedangkan farce bagi komedi. Farce dapat dikatakan lebih baik, lebih besar, lebih penting daripada sebenarnya dan penekanan dititikberatkan pada alur dibandingkan penokohan dan karakterisasi (Tarigan, 83—88).

c) Pengajaran Drama dengan Teknik Bermain Peran

Prinsip Teknik Bermain Peran

Bermain peran adalah salah satu teknik yang dapat digunakan pada pengajaran drama. Ampera (2010:38) mengemukakan mengajar sastra dengan teknik bermain peran, yaitu proses belajar mengajar dengan melibatkan siswa untuk memerankan watak-watak yang digambarkan dalam karya sastra. Dengan bermain peran, siswa diharapkan mampu menghayati karya sastra. Melalui bermain peran, siswa akan mendapatkan pengalaman-pengalaman emosi dan estetik, sehingga dapat menunjang perkembangan kecerdasan emosi anak.

Berdasarkan hal tersebut menurut Naffi dikutip Ampera (2010:39) dalam bermain peran pada pengajaran sastra anak dapat dipertimbangkan langkah-langkah berikut:

  1. Rancang situasi bermain peran dengan teliti, di samping mengenali secara pasti masalah-masalah yang akan muncul. Tentukan peran-peran yang diperlukan seperti memilih siswa yang dapat memerankan watak tertentu. Perlengkapan lain yang diperlukan juga harus dipersiapkan. Selain itu, sebelum dimulai, pengajar menerangkan kepentingan perlengkapan yang diperlukan serta peran yang perlu dimainkan dalam kegiatan bermain peran.
  2. Pelajar-pelajar yang mendapatkan tugas untuk memerankan watak tertentu harus dengan suka cita untuk berperan. Hal ini penting karena bermain peran akan berhasil apabila siswa dapat memahami peran yang dimainkan dengan tanpa keraguan untuk bermain.
  3. Ketika satu kelompok ambil bagian dalam melakukan pertunjukan, siswa-siswa lain perlu melakukan apreasiasi. Walaupun tindakan-tindakan spontan, tetapi tidak keluar dari konsep pertunjukan.
  4. Selesai bermain peran, pengajar dan siswa perlu melakukan diskusi seputar kesan dalam bermain peran. Diskusi dapat berupa permasalahan mengenai kekuatan dan kelemahan dalam berperan. Selain itu pula melakukan evaluasi mengenai jalannya kegiatan drama dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi.
Next Prev